Pagi itu saya ‘nebeng’ dengan ibu dari teman sekolah Rayhan untuk ke stasiun kereta api sesudah mengantar Rayhan ke sekolah. Kebetulan mobil lagi di bengkel karena ditabrak orang saat di bundaran jalan. Ibu tersebut berbaik hati mengantar jemput saya di stasiun setiap pagi dan sore, kalau jalan kaki ya lumayan pp bisa hampir 3 km dari stasiun kereta ke sekolah Rayhan. Sekolah Rayhan seperti di daerah Dago di Bandung, makanya ya Bandung disebut Paris van Java, karena beneran mengingatkan saya kalau jalan disana. Jalanan naik turun yang cukup bikin ngos-ngosan. Cuaca disini pun lebih sering mendungnya, samalah kayak Bandung jaman dulu, seperti teman kuliah saya kalau cuaca Bandung mendung-mendung dingin itu “Bandung banget deh” tapi itu Bandung jaman saya kuliah yang lebih dari 25 tahun lalu ya. Awalnya saya malu-malu mau karena untuk antar jemput saya dia harus berputar dari rumahnya, tapi ya akhirnya tentu dengan senang hati diterima, daripada ngos-ngosan sehari dua kali. Dia bilang “Tidak apa-apa Rury kita kan keluarga satu sekolah ya harus membantu satu sama lain, tidak usah sungkan-sungkan. WA saya aja jam berapa kamu sampai di stasiun, saya akan jemput kamu”.
Saat itu kita berpapasan dengan seorang ibu diatas kursi roda elektronik, sambil mobil menanjak kita harus bersabar menunggu ibu itu menggerakkan kursi rodanya sampai atas dan menepi ke pinggir jalan. Saat saya antar jemput Rayhan sering sekali ketemu ibu ini, entah pagi atau sore, kadang dia naik kursi roda sendiri, kadang ditemani anjingnya, kadang sambil mendorong kereta bayi, dan terkadang juga di temani seorang laki-laki yang kata teman saya itu adalah suaminya. Biasanya ibu tersebut sering antar jemput anaknya yang bersekolah di playgroup makanya kami sering berpapasan. Pasangan yang unik, karena mereka bertato dan juga rambut cat warna warni.
Teman saya adalah seorang perawat di Perancis yang bekerja dan bertanggung jawab terhadap beberapa sekolah di kota kecil itu. Nama kotanya Marly Le Roi. Kota ini dulu adalah pendukung dari istana Versailles yang terkenal, jadi cukup tua. Walau disebut kota, tapi sebetulnya besarnya mungkin seperti kelurahan di Jakarta. Dia bilang sambil menunjuk ibu itu, “Kamu tahu tidak, dia itu mengalami kecelakaan sampai kehilangan kedua kakinya. Sangat putus asa sampai mau bunuh diri dan tidak ingin hidup lagi. Tetapi kemudian satu kota ini mendukung dia, mereka memberikan support kepadanya dan bergiliran menghibur ibu tersebut setiap hari sehingga dia bangkit lagi. Dia akhirnya ketemu pria dan mereka menikah sekarang memiliki 2 orang anak. Dan itu kejadian sesudah dia kecelakaan. Jika kamu ketemu teman yang putus asa Rury, ceritakan kisah hidup ibu itu. Dia saja bisa bangkit dari kisah sedihnya dan bisa hidup normal kembali. Dia sangat hebat dan kuat. Satu kota ini tau dia semua, satu kota ini menjaga dia” Cukup kagum saya dengan support systemnya, ternyata orang Perancis tidak sedingin yang saya kira.
Suatu hari saya menjadi guru tamu di salah satu sekolah international terkenal di Paris kelas 3 SMA kelas Psikologi. Senang sekali mereka banyak bertanya tentang autisme dan profesi behavior analyst. Sebagai orang awam mereka terkesan dan baru tahu dengan fakta-fakta tentang autisme dan juga profesi baru ini. Tapi satu pertanyaan yang langsung membuat saya berpikir “Apa yang orangtua anak autisme inginkan dari lingkungan?” Pertanyaan yang susah-susah gampang untuk dijawab. Saya menjawab bahwa lingkungan harus memahami bahwa anak dengan autisme punya kondisi tertentu yang membuat mereka berbeda. Pahami itu dan tolong support mereka. Misalnya di mall mereka ‘meltdown’ harap dipahami bahwa mereka punya kondisi tersebut jangan menghakimi orangtua sebagai orang yang tidak bisa mengontrol anak. Atau misal anak autisme yang high functioning, terkadang berkata apa adanya yang mungkin menyakiti hati mereka, ya pahami saja bahwa bukan dia tidak sopan. Hanya otak dan pemahaman sosial mereka yang berbeda dari orang biasa.
Disisi lain hal ini membuat saya menyadari bahwa mengharapkan orang lain memahami mereka tanpa kita berusaha membantu anak autisme memahami tatanan sosial yang berlaku tentu tak adil dan berbahaya. Anak autisme terlahir dengan fisik yang normal dan tidak memiliki kelainan fisik, tentu orang yang baru kenal atau tidak paham autisme akan menuntut mereka berperilaku sesuai dengan lingkungan. Sementara manusia adalah makhluk sosial sehingga tentu mau tidak mau, anak dengan autisme selalu berhubungan dengan tatanan sosial yang berlaku. Ya kita harus mengajari mereka untuk memahami tatanan sosial tersebut. Masak iya kita harus mengurung anak autisme didalam rumah sepanjang hidupnya.
Contoh sederhana, kita memahami bahwa anak autisme bisa tantrum di tempat umum karena sensori yang overloaded masuk ke panca inderanya. Tetapi mana mungkin kita tidak membawa anak kita keluar karena takut dia tantrum, ya tidak mungkin. Masak iya kita tega kita jalan-jalan dengan saudaranya yang lain sementara anak yang autisme selalu ditinggal dirumah? Kita harus melatih mereka untuk terbiasa dengan sensori yang masuk dari lingkungan termasuk di dalamnya bagaimana mereka mengatasi luapan emosi tersebut sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti melukai diri sendiri atau orang lain. Contoh lain anak yang sangat suka main HP dan dilarang main HP. Apa yang terjadi jika mereka pergi ketempat umum? Jangan-jangan mereka mengambil HP orang yang tidak dikenal, tentu berbahaya bukan? Orang awam yang tidak memahami kondisi autisme akan menghakimi sang anak mencuri. Sekali lagi harus diingat, tampilan fisik anak autisme adalah normal. Permakluman dari orang yang tidak dikenal tentu tidak bisa diharapkan.
Mengajarkan norma dan tatanan sosial yang bersifat abstrak terhadap anak dengan autisme tentu bukanlah hal yang mudah, tetapi bisa. Bagaimana mereka harus memahami bagaimana bersikap ditempat umum, mengontrol emosi diri dan menghindari tantrum, memahami kepunyaan barang bahwa ini punya saya ini punya orang lain, bagaimana tidak boleh terlalu percaya dengan orang lain yang tidak dikenal, bagaimana jika tersesat apa yang harus dilakukan, dll. Hal ini sangat penting diajarkan sejak dini, dan mengajarinya mungkin lebih sulit daripada mengajarkan hal-hal yang bersifat akademik. Sulit, tapi bisa dan harus bisa. Ilmu ABA bisa dipakai dalam mengajarkan hal-hal seperti ini. Sambil tentunya kita juga menyiapkan support system disekitar anak kita seperti abang, kakak, adik, kakek, nenek, tante, om, tetangga, dll untuk menyupport anak autisme kita hidup ‘senormal’ mungkin. Mungkin mereka masih perlu pengawasan tergantung level autismenya, tapi sebisa mungkin dilatih mandiri. Hal ini pun harus dimulai sejak kecil.
Saya jadi ingat orangtua saya mengajarkan bahwa hidup ini seperti roda yang berputar, kadang diatas kadang dibawah. Makanya jangan sombong kalau posisi kita diatas. Apalagi apa yang kita punya ini semua bukan kepunyaan kita. Jika Allah berkehendak ya terjadilah. Walau kami bersaudara terkadang suka membantah orangtua, maklum anak ABG, “Iya rodanya berputar kesamping Pak yang kaya ya tetap kaya bisa tujuh turunan”. Bapak saya cuma ketawa saja, sudah paham adat anak-anaknya yang kadang suka ngomong asal tapi ya masuk juga nasehat beliau. Intinya sih semua orang butuh bantuan orang lain. Orangtua harus mengajarkan anak janganlah menjadi pribadi yang sombong saat diatas dan jangan lupa mengajarkan empati kepada anak, bahwa jika ada orang sedang susah atau berbeda seperti ABK dan keluarganya janganlah direndahkan atau di bully, supportlah mereka karena memang mereka butuh bantuan. Saat ini mereka butuh bantuan, siapa tahu lain kali kita yang memerlukan. Hidup ini seperti roda yang kita tidak bisa tahu kearah mana roda berputar. Bahkan yang berputar kesamping pun perlu bantuan. Orang super kaya pun butuh support orang lain untuk mengupas salak dan menggoreng telur kan? Artis juga perlu orang untuk masak didapur supaya tidak kena minyak kan?