ABA adalah ilmu sains jadi sebetulnya apapun yang diimplementasikan dalam program terapi ABA harus selalu berdasarkan metoda yang evidence based. Terapi ABA tidak identik dengan hanya terapi menggunakan kartu-kartu, ilmu terapi ABA adalah ilmu yang lebih luas dari sekedar pasang-pasang kartu atau memberikan intruksi pada anak dan anak lakukan. Ada latar belakang ilmu dibalik kartu-kartu tersebut, instruksi tersebut, selalu ada dasarnya. Apalagi seperti kita pahami bahwa anak dengan autisme adalah anak-anak unik sehingga program harus dibuat khusus untuk setiap individu berdasarkan kelebihan dan kekurangannya, sudah seharusnya tidak ada program terapi ABA yang copy paste. Kita ingin program yang dijalankan betul-betul apa yang diperlukan anak, tidak over program atau under program. Memahami ilmu behavior dan kondisi anak dengan autisme membuat seorang behavior analyst dalam pembuatan program selalu melihat dari gambar yang besar, pemikiran bagaimana ilmu behavior ini digunakan dalam pengajaran anak dengan autisme. Metoda boleh sama, kurikulum mungkin mirip, tetapi metoda dan pendekatan pengajaran yang dijalankan mungkin berbeda untuk masing-masing anak. Semua dijalankan berdasarkan kebutuhan sang anak.
Dimulai dari mana? Tentu dari assessment, karena assessment ini adalah dasar dari program yang akan dijalankan. Kunci dari pengembangan intervensi yang efektif adalah kemampuan terapis untuk secara komprehensif melakukan assessment sebelum, sedang dan sesudah intervensi. Menciptakan sistem yang secara simultan menangkap perkembangan anak dalam periode tertentu, dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, adalah penting sehingga kita memahami apakah anak berkembang sesuai target, apakah ada yang harus di sesuaikan dalam perjalanan intervensi dalam teknik dan targetnya. Assessment tidak hanya dilakukan di awal, tetapi juga selama intervensi dilakukan assessment secara berkala.
Assessment dilakukan untuk menentukan kerangka perkembangan di semua domain perkembangan anak dan menentukan sistem pengukuran dari program. Identifikasi kemampuan kunci yang perlu di assess untuk mengembangkan intervensi, termasuk didalamnya melakukan identifikasi kekurangan kemampuan yang harus diajarkan terlebih dahulu sebelum mengajarkan kemampuan yang baru (pre-requisite). Selain assessment kemampuan sang anak, perlu juga dilakukan assessment dalam hambatan belajar dan assessment lingkungan sebagai penunjang keberhasilan dari intervensi. Proses pembelajaran tidak akan efektif jika masih ditemukan hambatan belajar pada anak. Termasuk juga lingkungan yang kurang mendukung dari sang anak tidak akan menghasilkan kemajuan yang kita harapkan.
1. Assessment Kemampuan Anak Secara Berkala
Behavior analyst selalu berpegang pada data. Intervensi pada behavior, mengajarkan suatu behavior baru atau menurunkan problem behavior, dilakukan secara valid dan sitematis berdasarkan data. Assessment secara berkala dilakukan supaya pengambilan keputusan dalam intervensi selalu menggunakan data yang valid, menganalisa kemajuan dari sang anak dan mempelajari efek dari intervensi, Apakah pada arah yang benar? Apakah sesuai dengan target? Apakah ada yang harus diperbaiki dalam metodanya? Apakah target harus diperbaharui? Adakah hambatan yang bisa diatasi supaya terapi bertambah efektif?
Assessment pertama adalah secara komprehensif yang biasanya dilakukan secara menyeluruh dalam berkala yang cukup panjang menggunakan assessment standarisasi. Assessment komprehensif ini biasanya dilakukan di awal intervensi dan berikutnya pada proses review dalam 3 bulan, 6 bulan atau 1 tahun. Bermacam assessment komprehensif yang ada di pasaran dan banyak dipakai seperti VBMAPP, ABLSSR, PEAK, AIM, ESDM dll tergantung kondisi anak, dan apa yang ingin diajarkan. VBMAPP merupakan alat yang cukup mudah dipahami oleh orang awam dan dapat digunakan sebagai dasar dari pembuatan kurikulum dalam pengajaran bahasa dan sosial.
Assessment berikutnya adalah assessment dalam periode yang lebih pendek, seperti 1-3 bulan. Assessment ini berguna untuk mengetahui perkembangan dari kurikulum yang dijalankan dari program yang disusun. Apakah perlu penyesuaian dari target, perubahan metoda, penanganan problem behavior jika ada, dll. Assessment menengah ini sangat penting karena jika ada kesalahan atau kekurangan dalam penanganan dapat ditanggulangi dengan lebih cepat tanpa menunggu assessment komprehensif di atas sehingga tidak ada waktu yang terbuang. Lebih mudah melatih sesuatu yang baru daripada menghapus kesalahan atau kekurangan
Assessment dalam jangka pendek adalah assessment yang dilakukan per hari atau per minggu. Dari data yang didapat kita dapat membaca arah intervensi apakah sesuai atau perlu penyesuaian. Karena behavior analyst selalu menggunakan data, sistem pengambilan data harus mudah sehingga analisa bisa cepat dilakukan. Organisasi pengambilan data harus dipikirkan dari awal, apa target intervensi, apa yang diukur, apa yang disebut menyimpang, dll. Jika hasil analisa mudah dan cepat dilakukan, tentu terapis senang menggunakan data tersebut. Jika perhitungan data terlalu rumit, data sering tidak dipakai atau waktu terapi tidak berjalan efektif. Prinsipnya adalah, data menunjang pengambilan keputusan, bukan penghambat pengambilan keputusan.
2. Assessment Hambatan Belajar
Setelah melakukan assessment menyeluruh diatas dan program disusun. Apakah anak sudah pasti intervensi berjalan efektif? Keefektifan dari intervensi tergantung pada partisipasi aktif dari sang anak. Anak yang tidak mau atau tidak siap belajar tidak akan belajar dengan efektif. Berapa puluh kali kita memberi instruksi anak untuk “Tepuk tangan” jika anak tidak mau tepuk tangan dan hanya mengikuti physical prompt tanpa partisipasi aktif, tidaklah akan belajar secara efektif. Ratusan kali kita memberi instruksi pada anak untuk menunjuk kartu yang kita inginkan, jika anak tidak memilih untuk mendengarkan perintah, scanning gambar di depannya, tidak akan ada pembelajaran yang efektif. Akhirnya anak akan menggerakkan tangan tanpa makna hanya sekedar mengikuti perintah dan mendapatkan reinforcer tanpa belajar sesuatu.
Untuk belajar ekfektif kita harus melakukan assessment hambatan belajar pada anak. Salah satu keberhasilan dalam sistem pembelajaran yang efektif adalah anak dapat implementasi apa yang diajarkan pada kehidupan sehari-hari. Yang artinya, jika orang rumah tidak merasakan perubahan sekecil apapun, dan anak hanya bisa menjawab pertanyaan atau melakukan instruksi didalam ruangan terapi, bisa dibilang intervensi tidak efektif. Discrete Trial Teaching (DTT) atau terapi di ruangan adalah target perantara, target akhir adalah anak dapat implementasi di lingkungan alami, di rumah, disekolah. Contohnya jika anak hanya bisa menjawab pertanyaan “Siapa namamu?” dari terapis dengan intonasi tertentu dan tidak bisa menjawab pertanyaan “Nama kamu siapa?” “Anak manis, siapa namamu?” dengan berbagai intonasi dari bermacam orang dan setting, berarti intervensi tidak valid. Hasil intervensi yang efektif harus dapat dirasakan oleh semua orang yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari sang anak.
Apa saja hambatan dalam belajar anak? Salah satu hambatan belajar adalah skill deficit atau memang anak tidak memiliki kemampuan tersebut, anak terlahir tidak atau minim memiliki kemampuan tersebut. Anak yang terlahir tipikal memilki kemampuan ini sejak lahir, anak dengan autisme tidak atau minim memiliki kemampuan ini, seperti kemampuan mand, berpikir antar verbal operant, sosial, bermain dll. Hambatan belajar lain adalah karena kesalahan dari lingkungan. Mengajarkan suatu ketrampilan pada anak dengan autisme bukanlah hal yang sederhana, harus dalam pemikiran yang panjang dan hati-hati. Kurang memahami cara berpikir dan cara belajar mereka yang berbeda bisa menyebabkan hambatan dalam proses pembelajaran mereka. Menghapus yang sudah salah adalah lebih rumit, dibanding kita mengenalkan dengan sesuatu yang baru.
Mungkin perlu lagi kita memahami mengapa anak dengan autisme perlu menggunakan metoda ABA dalam pembelajaran sehari-hari. Kenapa pengajaran dengan OT dan TW saja serta bersekolah tidaklah cukup. Anak dengan autisme memiliki skill deficit sejak lahir, diantaranya mereka tidak memiliki atau minim dalam imitasi, interaksi sosial, mengikuti perintah, bermain, meminta benda (mand), dll. Ibaratnya kondisi mereka adalah hutan belantara yang dipenuhi pohon. Anak tipikal belajar dari imitasi dan interaksi sosial sementara anak dengan autisme minim memiliki kemampuan ini sehingga tidak heran mereka mengalami perkembangan yang terlambat untuk kemampuan yang lain seperti mengikuti perintah, bermain, meminta atau melabel benda, dll. Karena keterbatasannya mereka tidak bisa belajar langsung dari lingkungan dan kemungkinan tidak bisa belajar dengan efektif jika terapi dilakukan dengan tidak intensif. Ibarat terapi adalah membuat jalan aspal mulus menembus hutan belantara, tentu membutuhkan terapi yang intensif dan konsisten. Disinilah ABA memberikan jalan dalam proses pembelajaran. Tetapi apakah terapi intensif dan konsisten metoda ABA yang dibantu dengan penggunaan prompt dan reinforcer ini adalah tujuan akhir? Tentu bukan, tujuan akhir adalah anak dapat belajar langsung dari lingkungan seperti teman-teman sebaya mereka. Pada suatu saat, dengan teknik yang benar, prompt dan reinforcer harus dikurangi atau dikembalikan pada prompt dan reinforcer yang sesuai dengan lingkungan, sama seperti anak-anak tipikal.
Atau kebalikannya, sebagian anak kondisinya bukan hutan belantara lagi, tetapi sudah berbentuk taman dengan pohon-pohon yang lebih pendek, apakah diperlukan lagi terapi ABA yang sangat intensif dan sama masifnya dengan anak dengan sebelummya tersebut, hanya karena dia belum bisa seperti teman sebayanya dalam hal berbicara, bersosialisasi, bermain, tidak fokus, dll? Jawabannya adalah tidak. Ingat, tujuan akhir adalah anak belajar seperti teman sebayanya dari lingkungan. Jika kita terapkan ABA yang masif terhadap anak ini, yang ada kita malah membuat anak tergantung dari ABA, tergantung dari prompt dan reinforcer, terjadilah over program. Kuncinya adalah benar-benar mengenali anak tersebut. Skill deficit apa yang tidak mereka punyai. Apa yang menjadi kelebihan mereka, apa yang menjadi kekurangan mereka. Kelebihan bisa digunakan untuk melatih kekurangan mereka. Mengajarkan anak secara berlebihan karena pemahaman begitulah terapi ABA dijalankan adalah kurang tepat. Contoh: anak autisme biasanya merupakan anak-anak visual, tetapi mengajarkan program visual secara berlebihan padahal dia tidak memerlukan terapi untuk program visual sampai sampai semasif itu, adalah tidak efektif. Sudah seharusnya program lebih memprioritaskan kepada hal-hal yang menjadi kekurangan mereka, seperti kemampuan meminta barang (mand), konsep percakapan 2 arah (intraverbal), bermain, sosial, apapun yang merupakan skill deficit dari sang anak.
Beberapa hambatan belajar yang perlu di assess dan banyak terjadi yang dipresentasikan oleh Dr. Megan Miller, BCBA-D dan juga berdasarkan pengalaman penulis adalah:
Prompt dependency adalah ketergantungan dalam prompt. Seperti dijelaskan diatas prompt diberikan dalam proses pembelajaran sehingga anak dapat menjawab dengan benar. Tetapi sudah seharusnya prompt secara perlahan dikurangi sehingga anak tidak tergantung dengan prompt. Apakah anak selalu menunggu perintah atau pertanyaan dari kita untuk dapat meminta sesuatu atau mengerjakan sesuatu? Kenali prompt hierarchy. Errorless learning adalah baik untuk anak pemula, tetapi begitu anak memiliki kemampuan, sudah sebaiknya prompt dikurangi. Semakin sedikit prompt digunakan, semakin baik. Untuk anak advanced, mungkin prompt yang diberikan juga bukan lagi prompt langsung. Berikan kesempatan pada anak untuk belajar memecahkan masalah sendiri, belajar dari kesalahan dalam terapi atau kehidupan sehari-hari. Hati-hati dalam pemberian prompt. Terkadang terapis secara tidak sengaja memberikan jawaban yang benar terhadap anak. Apakah terkadang melirik pada jawaban yang benar? Apakah terapis secara tidak sengaja menaikkan intonasi pada jawaban yang benar? Apakah anak membaca jika tidak memberikan jawaban yang benar artinya terapis tidak memberikan reinforcer? Yang dalam pengertian, dia tidak memahami pertanyaan, tetapi membaca terapis saja?
Poor attending adalah kurangnya perhatian anak terhadap tugas yang diberikan terapis. Anak autis memang terlahir minim memiliki perhatian pada orang lain, tetapi kita bisa membangun kemampuan ini. Jika kita tidak melakukan assessment kekurangan apa yang dimiliki anak untuk membangun kemampuan ini, tetapi tetap memberikan reinforcer atau tugas tanpa memperhatikan apakah anak bisa scanning gambar dalam mengerjakan tugas, apakah anak tidak melakukan kontak mata saat melakukan tugas, apakah anak melakukan tugas tanpa motivasi, apakah anak mengerjakan tugas tanpa memperhatikan lingkungan, akhirnya kita memperburuk keadaan sang anak.
Motivasi yang lemah. Anak dengan autisme terlahir memiliki motivasi yang lemah untuk melakukan interaksi sosial. Tanpa interaksi sosial yang baik, tidak akan ada proses pembelajaran yang optimum. Tugas dari terapis adalah menangkap motivasi dari anak untuk mau berinteraksi dengan dunia luar. Motivasi awal ini tentu tergantung anak bukan tergantung dari terapis, yang kemudian bisa dikembangkan oleh terapis. Menangkap motivasi dan menjaganya selama proses pembelajaran ini adalah suatu usaha yang panjang dari kedua belah pihak, anak dan terapis. Memahami motivasi anak adalah kunci dari keberhasilan pengajaran. Mempelajari reinforcer yang pas dan proses pairing adalah usaha untuk meningkatkan motivasi anak.
Kesalahan dalam pemberian stimulus. Cara berpikir anak autisme yang berbeda dengan kita kadang memberikan kesalahan dalam maksud kita dan apa yang mereka tangkap. Jika kita meletakkan kartu dengan pattern tertentu dan tidak selalu mengacak pertanyaan atau letak kartu, akhirnya yang dipelajari anak bukanlah instruksi dan response yang benar tetapi yang diperhatikan adalah anak membaca pattern dari kartu. Untuk perintah memilih/menunjuk kartu (identifikasi), anak tidaklah mendengar perintah kemudian scanning gambar dan melakukan atensi untuk memilih jawaban yang benar, tetapi yang dilakukan anak adalah menghapalkan pattern kartu, tidak mendengarkan perintah, tidak scanning gambar sehingga respons yang terlihat benar dari anak bukanlah seperti yang kita inginkan dalam memahami konsep instruksi dan jawaban yang sesuai, tetapi lebih karena membaca pattern atau membaca gesture dari terapis supaya anak cepat mendapat reinforcer.
Tidak adanya “Shared agenda”. Dalam terapi kita memiliki target atau agenda sendiri bahwa kita ingin mengajarkan ketrampilan baru sesuai target, sementara anak memiliki agenda sendiri “Own agenda” dengan melakukan kegiatan yang mereka ingini tanpa merasa perlu untuk melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Disinilah orang lain, terapis, orangtua, anak harus menciptakan suasana dimana bisa saling membagi agenda mereka. Kita harus menarik mereka untuk dapat melakukan interaksi dengan kita. Jika anak secara impulsif menjawab pertanyaan tanpa atensi tetapi hanya ingin cepat mendapatkan reinforcer, anak hanya fokus pada agenda dia mendapatkan reinforcer, bukan belajar seperti yang kita inginkan. Atau mungkin jawaban anak yang sudah terpola mengikuti pattern yang dia pahami atau atensi yang sangat rendah terhadap terapis dan materi yang dibawakan, itu juga tanda belum adanya shared agenda.
Bagaimana caranya supaya ada terjadi shared agenda ini? Kita harus memahami anak, memahami apa yang mereka suka, memahami apa yang menjadi kesulitan mereka, memahami apa yang hilang dari kemampuan mereka, dimana satu anak dengan anak lain, walaupun sama terdiagnosa autis adalah berbeda. Apakah mereka bisa menunggu, apakah mereka bisa toleransi terhadap tugas dan material, apakah mereka bisa memberikan reinforcer dengan mudah, apakah mereka dapat sharing dengan orang lain, dll. Jika anak tidak belajar dan tidak mengalami kemajuan, yang salah adalah orang yang membuat program dan yang menjalankan, tidak pernah ada dalam kamus behavior analyst semua ini karena salah anak atau hal lain.
Tidak tepat misalnya dikatakan bahwa “Anak ini tidak belajar karena kurang latihan” akhirnya jam terapi ditambah. Pernahkah terpikir bahwa mereka juga manusia biasa yang memiliki rasa bosan? Jika suatu tugas diulang-ulang seperti itu-itu juga, puluhan kali, ratusan kali bahkan ribuan kali tapi tanpa akusisi kemampuan sama sekali? Bukannya belajar tetapi anak menjadi malas dan bosan? Hal ini tidaklah sesederhana, latihan lebih banyak saja, nanti juga bisa. Seorang behavior analyst akan berpikir kritis dan mencari penyebab mengapa anak ini tidak bisa mempelajari hal tersebut? Apakah ada kemampuan lain yang harus diajarkan terlebih dahulu (pre-requisite), apakah ada kemampuan lain yang perlu dilancarkan terlebih dahulu sebelum bisa diajarkan kemampuan ini, adakah trauma dari anak tentang program tersebut, apakah perlu ditampilkan program ini dari arah yang lebih menyenangkan? Berprasangka baiklah pada anak, bahwa anak juga manusia biasa yang senang jika mereka bisa melakukan sesuatu dengan baik. Alasan mereka banyak menghindar atau tidak menguasai kemampuan itu karena memang kemampuan itu masih terlalu sulit buat mereka. Behavior analyst selalu harus bisa menganalisa hal ini dan mencari jalan keluar yang tepat dalam proses pengajarannya, termasuk menjalankan terapi yang menyenangkan. Bagaimanapun, mereka adalah manusia terlebih lagi mereka adalah anak-anak.
3. Assessment Lingkungan
Selain assessment diatas, kita juga harus melakukan assessment pada lingkungan anak sehingga kondisi lingkungan mendukung proses pembelajaran pada sang anak. Kenali hubungan yang kompleks antara behavior anak, orang rumah, terapis, sekolah sang anak dan juga lingkungan sekitar. Perbedaan tempat bisa jadi membuat behavior anak berubah. Misal anak hanya nurut atau menjawab pertanyaan oleh terapis tidak orangtua atau guru dikelas atau anak jika disekolah banyak mengalami problem behavior, tentu ada yang salah dalam programnya seperti yang dijelaskan diatas. Banyak hal yang bisa di assess dari lingkungan seperti bagaimana hubungan anak dengan orangtua, terapis dan guru? Bagaimana suasana rumah dan sekolah? Bagaimana hubungan anak dengan teman-temannya? Apa yang biasa dilakukan anak dirumah, dalam mengisi waktu luang, jika terjadi problem behavior, rutinitas rumah, kemandirian anak, dll. Seperti dijelaskan diatas bahwa program ABA tidak bisa dikatakan master jika tidak terjadi perubahan di lingkungan alami, bagaimana anak melakukan generalisasi kemampuan yang mereka kuasai di tempat terapi dan mempraktekkannya di lingkungan alami. Beberapa anak mungkin tidak bisa melakukannya sendiri sehingga diperlukan program khusus. Bagaimana behavior analyst membuat program dalam proses generalisasi ini, dalam proses implementasi di lingkungan alami.
Adakah dari lingkungan yang harus diubah sehingga program ini berjalan efektif untuk sang anak? Contoh orangtua yang tidak paham konsep behavior dan kondisi anak dengan autisme mungkin melakukan sesuatu yang membuat program ini menjadi tidak efektif. Terapis mengajarkan di tempat terapi bahwa anak harus mengikuti aturan tertentu sementara dirumah orangtua melakukan bebas parenting atau apa saja boleh asal anak tidak menangis dan orangtua tidak mau repot tentu apapun yang diajarkan terapis akan di undo oleh orangtua. Program pun menjadi jalan ditempat. Behavior analyst harus mengajak partisipasi aktif dari orangtua dan menjelaskan program dan kondisi yang dari anak tersebut. Menurut pengalaman penulis, orangtua yang terlibat aktif membuat perkembangan anak menjadi luar biasa, bahkan jauh melampaui target. Bagaimanapun anak menghabiskan waktu lebih banyak dengan orangtua dirumah.
Guru yang kurang paham dengan kondisi anak dengan autisme juga terkadang mempersulit perkembangan anak. Terkadang untuk orang yang kurang memahami anak dengan autisme sering memberikan stigma pada anak autisme sebagai anak nakal, tidak pintar, pembuat onar. Padahal jika kita memahami anak ini, itu tidaklah benar. Behavior analyst harus melakukan assessment pada semua sisi lingkungan sehingga proses pembelajaran anak dengan autisme menjadi efektif. Selain kondisi diatas behavior analyst juga melakukan assessment terhadap lingkungan anak secara menyeluruh bagaimana dia dapat terintegrasi dengan lingkungan sekitar dengan baik. Kemampuan apa yang diperlukan oleh anak untuk dapat melakukan proses integrasi ini.
Peringatan: Informasi yang saya tulis harap digunakan sebagai informasi yang memperkaya pengetahuan anda, tetapi sebaiknya anda komunikasikan dengan professional yang menangani anak anda sebelum diterapkan. Ilmu yang saya sampaikan sesuai dengan keilmuan yang saya pelajari tetapi harus dipahami bahwa setiap kasus anak adalah unik. Saya tidak bertanggung jawab atas kesalahpahaman atau penyalahgunaan dari informasi yang anda terima.